Jurnal

Saturday, 3 June 2023

Urgensi Jarh Wa Ta’dzil

A.    Urgensi Jarh Wa Ta’dzil

Ilmujarh  wa  ta’dilsangat  penting  untuk  menentukan  kualitas  haditsdari  Nabi.Seorang  peneliti  haruslah  memiliki  pengetahuan  yang  cukuptentang  ilmujarh  wa  ta’diluntuk  dapat  menyimpulkankredibilitas  seorangrawidalam  menentukan  kualitas  sebuah  hadits.Ilmujarh  wa  ta’diladalahilmu  yang  membahas  di  dalamnya  penilaian  baik  danburuk/cacat  dariseorang kritikus terhadap rawi hadits.Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengantumbuhnya periwayatan dalam Islam.

Ada  beberapahalyang  perlu  diperhatikandalamjarh  wa  ta’dil.yaitu,kritikus (penjarhatau penta’dil) orang yang dijarhatau dita’dil, lafadzjarhatauta’dil,keputusanjika  terjadi  pertentanganpendapat  kritikusterhadapseorang  rawi,danjarhatauta’dilyangmubhamataumufassar.Seorangkritikus  harus  mempunyai  syarat  berilmu,  bertaqwa,wara’,  jujur,  menjauhidiri  dari  sifat  fanatis,  serta  memahami  sebab  pencacatan  seseorang  ataupunsebab dikukuhkannya sebagai seorang yang adil.Lafadzta’dildanjarhbervariasidanmasing-masingmempunyaikekuatan.  Perbedaan  kritikus  mempengaruhi  perbedaan  lafadz,  dan  ini  perludiperhatikan.Jika  terjadi  pertentangan  antarajarhdanta’dilmaka  JumhurKritikus  berpendapat  bahwa  lebih  mendahulukanjarh  mufassardari  padata’dil.Falsafahjarh  wa  ta’dilmasih  tetap  relevan  padasaatsekarang  untukmenfilterinformasi yang datang, sehinggadapatmengurangidampak negatifdari berita-beritahoaksyang sedang semarak di zaman ini..

Jarhmenurutbahasa,  bermakna  :  luka,  cela,  atau  cacat,  atau  melukaitubuh,   yang   karenanya   menyebabkanjuruh.Apabila   dikatakan:Hakimmenjarahkan  saksi,  maka  maknanya:  hakim  menolak  kesaksian saksi.[1] Dandiartikan  pulajarhdenganmemaki  dan  menistai,  baik  di  muka  ataupun  dibelakang.[2]Atau ilmu pengetahuan  yang mempelajari kecacatan para perawi,seperti padakeadilandan kedhabitannya.

Para ahli hadits mendefinisikanal-jarhdenganKecacatan  pada  perawi  hadits  disebabkan  oleh  sesuatu  yang  dapatmerusak keadilan atau kedlabitan perawi.Sedangkan Hasbi ash-Shiddiqie menyatakan bahwa menurut istilah ahlihaditsNampak  suatu  sifat  pada  perawi  yang  merusakkan  keadilannya,  ataumencederakan    hafalannya,    karenanya    gugurlah    riwayatnya    ataudipandang lemah

Tajrihmenurut  bahasa  bermakna  :tasyqiqartinya  melukakan ta’jibartinya mengaibkan.

B.     Tingkatan dan Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil

Lafadz-lafadza yang digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu memiliki tingakatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Salah dan Imam Nawawi, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan. Menurut Al-Hafidz Al-Dzahaby dan Al-‘Iraqy tersusun menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:[3]

1.      Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi

a.       Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang mengandung arti sejenis, misalnya:

b.      Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulanginya) maupun semakna

c.       Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan

d.      Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah)

e.       Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan

f.       Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas yang diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikatikan dengan suatu pengharapan

2.      Tingkatan dan lafadz-lafadz menjarh  rawi

a.       Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain (seperti sighat muballagah) yang mengandung pengertian yang sejenisnnya dengan itu

b.      Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat muballagah.

c.       Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya

d.      Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat

e.       Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya

f.       Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu berdekatan dengan adil

Orang yang ditarjih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan-tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’itibar (tempat membandingkan).

 

Dalam menilai pribadi seseorang periwayat hadis tertentu, terkadang para kritikus sependapat dan adakalanya berbeda pendapat. Selain itu tak jarang seorang kritikus menilai seorang periwayat yang sama dengan dua kualitas yang berbeda. Dalam satu kesempatan tertentu, seorang kritikus menilai dengan Laisa bihi ba’s, sedangkan pada kesempatan lain menilai periwayat tersebut dengan kata da’îf. 5 Padahal kedua lafaz itu memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda

Dalam menilai pribadi seseorang periwayat hadis tertentu, terkadang para kritikus sependapat dan adakalanya berbeda pendapat. Selain itu tak jarang seorang kritikus menilai seorang periwayat yang sama dengan dua kualitas yang berbeda. Dalam satu kesempatan tertentu, seorang kritikus menilai dengan Laisa bihi ba’s, sedangkan pada kesempatan lain menilai periwayat tersebut dengan kata da’îf. 5 Padahal kedua lafaz itu memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda.6 Melihat betapa urgensinya ilmu ini para pakar ‘Ulûm al-Hadîŝ menyusun kaedahkaedah al-Jarah wa at-Ta’dîl. Dengan adanya kaedah ini diharapkan hasil penelitian terhadap riwayat hadis dapat lebih obyektif. Berikut ini adalah teori-teori yang telah dikemukakan oleh ulama ahli al-Jarah wa at-Ta’dîl dan perlu dijadikan bahan oleh para peneliti hadis tatkala melakukan kegiatan penelitian, khususnya berkenaan dengan penelitian para periwayat hadis yaitu; Pertama, at-Ta’dîl Muqaddam ‘alâ Jarh ( Ta’dîl didahulukan atas Jarh). Maksudnya bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat baiknya. karena sifat dasar periwayat hadis adalahterpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian maka sifat dominan adalah sifat terpuji. Pada umumnya ulama hadis menolak kaedah tersebut dengan alasan bahwa kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat yang tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya. Sementara kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya. meskipun demikian kaedah ini sepenuhnya didukung oleh Imâm an-Nasâî.7 Kedua, al-Jarh Muqaddam ‘alâ atTa’dîl (al-Jarh didahulakan atas al-Ta’dîl ). Maksudnya bila seseorang dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat yang dinilai celaan. Alasannya karena kritikus yang menyatakan celaan lebih paham pribadi periwayat yang dicelanya. Kemudian yang menjadi dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan yang baik dari seorang kritikus hadis dan persangkaan baik itu harus dikalahakan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat bersangkutan. Kalangan ulama hadis, ulama fiqhi, dan ulama ushul fiqhi banyak menganut teori tersebut. Dalam pada itu, banyak juga ulama kritikus hadis yang menuntut pembuktian atau penjelasan yang menjadi latar belakang atas ketercelaan yang dikemukakan terhadap periwayat tersebut.8 Ketiga, Lâ Taˋârada al-Jarh wa alMuˋaddil fa al-Hukm li al-Muˋaddil illâ iẑâ subita al-Jarh al-Mufassar. Maksudnya apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritkan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya. Apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kriikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan.9

Keempat, Iẑâ Kâna al-Jarîh dâˋifan falâ yuqbal jarhuhu li aŝ-Ŝiqah. Maksudnya apabila kritikus yang mengungkapkan ketercelaan adalah orang-orang yang tegolong daˋîf maka kritikannya terhadap orang yang Ŝiqah tidak diterima. Alasannya orang yang bersifat Ŝiqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak Ŝiqah. Kelima, Lâ yuqbal al-Jarh illâ Baˋda atTaŝâbbut Khasyah al-Asybah fî al-Majrûhin. Al-Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya. Maksudnya apabila nama periwayat mempunyai kesamaan atau kemiripan dangan nama periwayat lain, lalu salah satu periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat dari kesamaan atau kemiripan dari nama tersebut. Suatu kritikan harus jelas sasarannya dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keraguan-keraguan atau kekacauan. 10 Keenam, al-Jarh an-Nasyi’ ˋan ˋadâwah dunyawiyyah lâ yuˋtadd bih (al-Jarh yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniaan tidak perlu diperhatikan). Maksudanya apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki yang permusuhan dalam masalah keduniaan dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan kecelaan itu, maka kritikan itu harus ditolak. Alasannya adalah pertentangan masalh pribadi tentang urusan dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif. Kritikus yang bermusuhan dalam urusan dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku subyektif karena didorong oleh rasa kebencian.11 Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing itu, maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih obyektif terhadap periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya. dinyatakan demikian karena tujuan.penelitian yang sesungguhnya bukanlah untuk mengikuti teori tertentu, melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu dalam upaya memperoleh hasil yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu sulit dihasilkan.12 Adapun kaidah al-Jarh wa at-Taˋdîl ada beberapa bagian; Pertama, Keadilan seorang rawi dapat dilihat dari keislamannya, balig, berakal, terhindar dari sebab kefasikan, dan menjaga murûˋah (kepribadian/kewibawaan) berdasarkan kesaksian dari ulama.13 Kedua, Kedhabitan seorang râwî dapat dilihat dari pemahaman, hafalan, dan kemampuan menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada orang lain. Ketiga, Keadilah sahabat telah disepakati oleh para ulama.14 Keempat, Râwî yang Majhûl (tidak diketahui identitasnya) tidak jelas hukumnya, dan ulama menyarankan untuk mendiamkan hadis yang diriwayatkannya.15 Kelima, Seorang râwî yang melakukan perbuatan bidˋah riwayatnya dapat diterima apabila perbuatannya tidak sampai membuatnya menjadi kafir, tidak ada celaan selain bid’ah pada dirinya, bukan orang yang durhaka kepada Allah, atau mengemukakan hadis untuk membenarkan perbuatannya yang dianggap bidˋah. 16 Keenam, Penilaian râwî yang semasa tidak diterima apabila yang menilainya hanya temannya sendiri tanpa adanya pendapat ulama lain. Juga, tidak dapat diterima apabila seorang. râwî di-jarh disebabkan karena berbeda mazhab.



[1]Jamaluddin  Abi  al  Fadhl,Lisanul‘Arab,Jilid  3,(Beirut:  Dar  al  Kutub  al  ‘Ilmiyah,2003),hlm. 246

 

[2]M.  Hasbi  Ash  Shiddieqy,Pokok-pokok  Ilmu  Diroyah  Hadits,  (Jakarta:  PT  BulanBintang,1994), hlm. 324

[3]Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1974, hal. 313



EmoticonEmoticon