STUDI ISLAM
DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS
1.
Pendahuluan
Secara sederhana sosiologis dapat diartikan
sebagai ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling
berhubungan. Dengan ilmu ini suatu fenomena dapat dianalisa dengan menghadirkan
faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan tersebut, mobilitas sosial
serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya sosiologis dapat dijadikan sebagai salah satu
pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena
banyaknya bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan
lengkap apabila menggunakan jasa dan bantuan sosiologi. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut
sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami
maksudnya. Disinilah
letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.[1]
Beranjak dari hal di atas maka dalam makalah ini akan membahas
tentang pengertian pendekatan sosiologis, karakteristik pendekatan sosiologis, serta
pendekatan sosiologis dalam studi islam.
2.
Pengertian
Pendekatan Sosilogis
Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi
dari agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud
dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam
hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan
menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai
kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada
persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, atau penelitian
filosofis.
Berbagai
pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini.
Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat
dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis,
melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan
kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan
merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.
Sosiologi
berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan,
teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini
dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours
De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857).
Sebagai sebuah ilmu, sosiologi
merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran
ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.[2]
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki
ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba
mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta
berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam
tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto sebagaimana
yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya mengartikan sosiologi sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam
arti memberi arti petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan
kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga
dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa pengetahuan perihal
struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata
mengenai kehidupan bersama dari manusia.[3]
Dari dua
definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah “suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.” Dengan ilmu ini suatu
fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya
hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya
proses tersebut.
Selanjutnya,
sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama.
Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru
dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang
dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam
melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi
contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru bisa djawab dan sekaligus
dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial
peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami
maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami
ajaran agama.[4]
Sebuah contoh
peristiwa jatuhnya Daulah Bani Umayah pada tahun 750 M dan bangkitnya Daulah
Bani Abbasiyah telah menarik perhatian banyak sejarawan Islam klasik. Para
sejarawan melihat bahwa kejadian itu unik dan menarik, karena bukan saja
merupakan pergantian dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur
social dan ideology. Maka, banyak sejarawan yang menilai bahwa kebangkitan
Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Richard Frye
dalam sebuah artikelnya berjudul “The Abbasid Conspiracy and Modern
Revolutionary Theory” pada tahun 1952 menyatakan bahwa ciri-ciri yang
menyertai kebangkitan Daulah bani Abbasiyah ketika itu sama dengan ciri-ciri
yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern sekarang ini. Fyre
menggunakan teori anatomi revolusi yang dikembangkan oleh Crane Brinton yang
menyatakan bahwa dari empat buah revolusi yang diamatinya, yaitu Inggris,
Amerika, Perancis dan Rusia, sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa
pada masa sebelum revolusi, ideology yang sedang berkuasa mendapat kritik keras
dari masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang
ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu.
Kedua, mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya menyesuaikan
lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideology yang
berkuasa kepada wawasan baru yang ditawarkan oleh si pengeritik. Brinton menamakan
hal ini dengan “The dissertion of the intellectuals”. Keempat, bahwa revolusi
itu umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan
kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian kau penguasa yang karena hal-hal
tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada.[5]
Semua bidang inetelektual
dibentuk oleh tempat sosialnya. Hal ini terutama berlaku bagi sosiologi, yang
tak hanya berasal dari kondisi sosialnya, tetapi juga menjadikan lingkungan
sosialnya sebagai kajian pokok. Tokoh yang menggagas sekaligus mempraktikkan
sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah :
1.
Ibn Khaldun (1332 M)
Tokoh yang
lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 M atau 1 ramadhan 732 H ini
hidup dalm situasi konflik yang begitu keras antara Muslim tradisionalis,
raionalis dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat di sekitarnya
itulah yang mendorongnya untuk mempelajari masyarakat secara serius. Dalam
kajiannya, ia telah menghasilkan sejumlah karya sosiologi, seperti kitab
al-Ibar yang berisi sejarah umum dan universal masyarakat dan Muqaddimah
(Prolegomena) yang berisi pembahasan tentang sosiologi. [6]
Ibn Khaldun
telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat
yang halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Model Khaldun
mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus
dari pengalaman dunia gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu deskripsi historis
mengenai masyarakat Arab, namun untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau
hukum-hukum yang mengatur dinamika-dinamika masyarakat dan proses-proses
perubahan sosial secara keseluruhan.[7]
Sebagian besar
sosiolog memandang konstribusi Ibn Khaldun begitu kecil dalam sosiologi. Mereka
lebih mengakui Karl Marx dan august Comte sebagai orang yang paling berjasa
bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan panjang revolusi politik
yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan revolu yang berlangsung
sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai faktor yang paling besar perannya dalam
pembentukan sosiologi.[8]
2.
August Comte (1798-1857)
Di tangan
Comte, sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu menjadi semakin jelas bentuknya.
Comte mengembangkan fisika atau yang pada tahun 1839 disebutkannya sosiologi.
Penggunaan istilah fisika social jelas menunjukkan bahwa Comte berupaya agar
sosiologi meniru model “hard sciences”. Ilmu baru ini, yang menurut
pandangannya akhirnya akan menjadi ilmu dominan, adalah ilmu yang mempelajari
social statics (Statika social atau struktur social yang ada) dan social
dynamics (dinamika social atau perubahan social). Meski keduanya dimaksudkan
untuk menemukan hukum-hukum kehidupan social, ia merasa bahwa dinamika social
lebih penting ketimbang statika social. Tekanan pada perubahan sosial ini
mencerminkan perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi sosial.[9]
3.
Karl marx (1818-1883)
Walaupun Marx
bukanlah seorang sosiolog dan tak pernah manganggap dirinya sosiolog, bahkan
karyanya boleh dibilang terlalu luas untuk bisa dicakup dalam pengertian
sosiolog, namun ada satu teori sosiolog yang ditemukan dalam karyanya. Marx
menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya
mengenai sifat dasar manusia. Marx meyakini bahwa manusia pada dasarnya
produktif, artinya untuk bisa bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam
dengan alam. Dengan bekerja semacam itu manusia menghasilkan makanan, pakaian,
peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang memungkinkan mereka hidup.
Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan
dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini diwujudkan
bersama-sama dengan orang lain. dengan kata lain, manusia pada dasarnya adalah
makhluk sosial. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan segala sesuatu
yang mereka perlukan untuk hidup.[10]
4.
Emile Durkheim (1858-1917)
Durkheim
mengembangkan masalah pokok sosiologi dan kemudian diujinya melalui studi
empiris. Dalam The Rule os Sosiological Method (1859/1982) ia
menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari fakta-fakta sosial. Ia
meyakini fakta sosial sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan
memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala luas ini –
misalnya hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama – dan pengaruhnya
terhadap individu menjadi sasaran studi banyak teoritisi di kemudian hari,
termasuk Parsons.[11]
5.
Max Weber (1864-1920)
Weber memandang
individu sebagai memiliki makna subjektif. Dengan asumsi ini bahwa tindakan
seorang individu dapat bermakna bagi dirinya dan dapat diakui oleh orang lain.
Dunia adalah dunia makna bersama, di mana seseorang terus menerus membaca dan
menyesuaikan diri dengan penafsiran-penafsirannya mengenai orang lain dan
memodifikasi tindakan-tindakannya sendiri sebagai respon atas penilaiannya
tterhadap konsekwensi-konsekwensi perbuatannya.[12]
6.
Karl Mannheim (1893-1847)
Bagi Mannheim
sosiologi pengetahuan adalah sebuah teori pengondisian sosial atau eksistensial
pengetahuan. Maksudnya, teori yang mengaitkan antara pengetahuan dan kondisi
social masyarakat. Mannheim sendiri adalah seorang ilmuwan sosial Jerman.[13]
3.
Karakteristik
Pendekatan Sosiologis
Dalam displin ilmu sosiologi agama, terdapat
berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dikembangkan sebagai perspektif
utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat
fenomena keagamaan di masyarakat. Di antara pendekatan itu yaitu: perspektif
fungsionalis, pertukaran, interaksionisme simbolik, konflik, teori penyadaran
dan ketergantungan. Masing-masing perspektif itu memiliki karakteristik
sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam
melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling
bertentangan. Pembahasan berikut ini akan memaparkan bagaimana keempat
perspektif dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat, yaitu :
1.
Fungsionalisme
Pendekatan fungsional menurut Talcott Parson dapat digunakan untuk
menjelaskan perubahan sosial. Bila peneliti mengamati adanya berbagai perubahan
dalam masyarakat, terutama perubahan pada tingkat mikro, seperti seorang murid
yang tidak terlalu ramah pada guru disebuah pondok pesantren atau sekolahan,
kecenderungan terjadinya pelanggaran nilai dan norma yang menjadi pegangan
bersama bahwa perubahan tersebut terjadi seperti contoh yang diatas akibat
kegagalan sosialisasi dan intertnalisasi nilai-nilai dan norma yang menjadi
pegangn bersama.
2.
Pertukaran
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan
fenomena sosial keagamaan, seperti perubahan dan perilaku sosial, ialah teori
pertukaran. Menurut prespektif pertukaran, manusia selalu melakukan transaksi
sosial yang saling menguntungkan baik keuntungan materi maupun non-materi.
Pokok-pokok pandangan teori pertukaran menurut turner (1978:203) ialah :
1)
Manusia
berusaha memperoleh keuntungan dari transaksi sosial.
2)
Manusia
memperhitungkan untung rugi dalam transaksi sosial.
3)
Manusia
menyadari adanya sejumlah alternatif yang mendorong mereka memperhitungkan
untung-rugi.
4)
Manusia
bersaing untuk memperoleh keuntungan.
5)
Pertukaran yang
berorientasi keuntungan berlangsung dalam setiap konteks sosial.
6)
Individi mempertukarkan
komoditas non material seperti perasaan dan jasa.
3.
Interaksionalisme
Simbolik
Manusia pada intinya senang dengan simbol-simbol. Bila disuatu
tempat tumbuh dan berkembang komunitas, pada saat yang sama akan tumbuh
simbol-simbol yang dipahami bersama. Simbol-simbol diwujudkan dalam bahasa,
budaya, seni dll. Ritual keagamaan dalam perspektif ini dipandang sebagai
symbol yang menjadi ciri khas sebuah komunitas. Menurut pendapat Georg Simmel
yaitu kepribadian seseorang muncul dan berkembang tergantung pada jaringan dan
hubungan sosial, seperti keanggotaan dalan kelompok. Dengan kata lain,
keanggotaan seseorang dalam kelompok merupakan faktor determinan bagi tumbuh
dan berkembangnya kepribaian seseorang. Perspektif interaksionisme simbolik
dapat digunakan untuk menganalisa realitas kehidupan beragama. Mengapa
kehidupan muslim berbeda dengan kehidupan umat muslim di aceh, di asia barat,
dan beberapa tempat lain?
4.
Konflik
Teori-teori konflik dapat di inginakan untuk menjelaskan
kecenderungan integrasi dan disintregasi yang dialami sebuah sistem sosial. Dan
konflik mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang
memiliki kepentingan satu sama lain. Mereka selalu bersaing untuk mewujudkan
hasrat dan kepentingan bersama. Perjuangan untuk mewujudkan hasrat dan
kepentingan mereka sering kali bermuara pada terjadinya konflik antara satu
komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat yang lain. Dengan demikian,
bila dalam komunitas terdapat kecenderungan disintregasi, peneliti dapat
menggunakan pendekatan konflik untuk melakukan analisis terhadap kondisi
tersebut.[14]
4.
Pendekatan
Sosiologis dalam Studi Islam
Pentingnya
pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami, karena banyak sekali
ajaran agama yang bekaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama
terhada masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu
sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
1.
Perhatian Agama Islam Terhadap Masalah Sosial
Alasan besarnya
perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial adalah
:
a.
Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis,
proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan
muamalah.
b.
Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial)
dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya
dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan
sebagaimana mestinya.
c.
Bahwa ibadah yang mengandung segi
kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat
persorangan. Karena itu salah yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih
tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan
ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d.
Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan
ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan
tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya
adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
e.
Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik
dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah
sunnah. Dalam hubungannya dengan ini misalnya membaca hadits yang artinya
sebagai berikut :
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni
janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira
beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus
menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[15]
Manusia sebagai
makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada prinsipnya adalah makhluk yang
saling bergantung pada sesamanya, baik yang menyangkut sandang, pangan, papan,
keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang maupun kasih
sayang, di samping kebergantungan di bidang politik,ekonomi, budaya, dan hukum.
Kebergantungan itu menunjukkan bahwa manusia saling membutuhkan dalam banyak
aspek, guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya masing-masing. Kebutuhan itu
satu sama lain terkadang saling bertentangan ; kalau tidak diatur dalam suatu
kaidah atau norma yang jelas, itu bisa menimbulkan kekacauan karena
masing-masing berusaha sebisa mungkin memenuhi obsesi hidupnya. Norma tersebut
adalah mekanisme pengendalian social (mechanism of social control) yang
dilakukan untuk melaksanakan proses untuk mendidik, mengajak, atau bahkan
emmaksa individu atau masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah
dan nilai-nilai kehidupan. [16]
Dengan adanya
norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah norma-norma agama)
memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya. Namun penyesuaian
(terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar kemungkinannya apabila
norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang
berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau sanksi-sanksi) social
tersebut, sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua norma social,
walaupun kebanyakan orang hanya karena merasa diberi ganjaran secara
psikologis, mau menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena pernah
menerima hukuman dalam arti informal dan sanksi hukum berupa cemoohan dari
teman-teman mereka. Akan tetapi jika norma-norma itu terdapat dalam kerangka
acuan yang bersifat sacral, maka norma-norma tersebut dikukuhkan pula dengan
sanksi-sanksi yang sakral; dan dalam hampir semua masyarakat sanksi-sanksi
sakral tersebut mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa. Karena, tidak hanya
menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat duniawi dan
manusiawi, tetapi juga ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat
supra manusiawi dan ukhrawi.[17]
Melalui
pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu
sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Qur’an misalnya kita
jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya,
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru
dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat
ajaran agama itu diturunkan.[18]
Elizabeth K.
Nottingham dalam bukunya mengemukakan berikut adalah kekuatan agama yang mampu
membujuk orang-orang dan pihak-pihak (yang bersangkutan) untuk mengorbankan kepentingan
pribadi mereka demi terpenuhinya kepentingan masyarakat secara keseluruhan :
1.
Agama telah membantu mendorong terciptanya
persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan
memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota
masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan
ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu
dan utuh.[19]
2.
Terdapat alasan-alasan yang kuat untuk
mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan
kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini
patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang
berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan
perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.[20]
2.
Aplikasi Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu
Keislaman
Bagi
pengembangan ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat ganda, yakni :
a.
Manfaat teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi
pengetahuan dapat membantu para pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami
substansi ilmu dan mengembangkan paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa
lebih dinamis. Pemahaman terhadap substansi ilmu dilakukan melalui penemuan
eksemplar-eksemplar itu, dan pengidentifikasian metode-metode dalam suatu
paradigm. Semetara pengembangan paradigma dilakukan melalui penelusuran kaitan
antara paradigma dengan konteks sosio-historisnya, pencarian paradigma baru
berdasarkan analisis persoalan sosio-historis kontemporer, dan pencarian
teori-teori baru dalam paradigma baru.
b.
Manfaat praktis sosiologis adalah bahwa
sosiologi pengetahuan dapat memperkaya metode penelitian ilmu-ilmu keislaman.
Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat dengan berbagai cara (apa saja boleh),
asalkan semua cara itu dilakukan dengan bertanggung jawab dan dapat memperluas
perspektif para pengkaji. Hanya dengan cara memperbanyak perspektif inilah akan
terwujud ilmu keislaman yang ramah terhadap segala keragaman dan problematika
kehidupan. Di samping itu, ilmu keislaman yang multiperspektif juga akan mudah
diterima semua kalangan karena dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika
harus bersentuhan dengan realitas masyarakat.
Misalnya,
sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk dari ruang hampa
dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh karena itu,
biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang
sesuai pada saat itu, dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih
kita sendiri sesuai dengan zaman kita. Dominasi antar generasi hanya akan
menghasilkan kejumudan dan kemandegan berpikir.
Wacana
tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar, sesungguhnya tiada lain adalah
tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigma lama dalam ilmu ushul fikih
telah mengalami keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga
mengalami disfungsi. [21]Inilah
yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut : “Masalah-masalah khusus di
masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau memungkinkan untuk dibatasi;
teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga terbatas, dan demikian pula
ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk dari teks-teks itu…,
akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak ada lagi yang
tersisa, dan kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya” pintu
ijtihad, bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[22]
Sebenarnya, tak
ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan untuk “menutup” pintu
ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang lain karena dalam Islam
tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan untuk “menutup”
atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu dasar dari
pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran dalam rangka
mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi setiap Muslim yang
memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang memungkinkannya untuk
melakukan ijtihad.
Dengan
demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana tidak ada
lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum Muslim hidup di
dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang mungkin dilontarkan di
dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput, dan ketika pemanfaatan
segala kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti hubungan kata dengan
makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan sandaran
analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan sendirinya
tertutup dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”.[23]
“Dari sini,
Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka pintu ijtihad, akan tetap
saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang merupakan titik utama
tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad tidak pernah
ditutup, tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang menjalankan
ijtihad itu tertutup di dalam kerangka peradaban dan kebudayaan yang telah
berhenti bergerak dan tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau diperlukan
keterbukaan baru bagi nalar Arab Islam agar ia sanggup menghadapi keterbukaan
peradaban yang telah terjadi. Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada ijtihad pada
tatanan masalah-masalah kontemporer.”. [24]
Islam telah
meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyarakat. Di dalamnya diatur hubungan
antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat, anatar satu
komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu mulai yang
sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga sampai bernegara.
Al-Qur’an
memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan masyarakat
masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya di dapati
hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang sejarah
manusia. Oleh karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi
perintah agar manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.
5.
Agama dan Islam sebagai Fenomena Sosial
Agama seringkali disebut sebagai manifestasi budaya. Karena
didalamnya mengandung pengamalan ajaran yang diwujudkan dari hasil kreasi
manusia. Ketika berhubungan dan berkomunikasi dengan zat Tuhan Yang Maha Suci.
Agama adalah hak asasi manusia yang terlahir dari kodrat dan karunia Allah Yang
Maha Kuasa melalui potensi dan hati nurani manusia. Kedua potensi yang besar
itulah yang telah mendorong manusia untuk menemukan zat Tuhan. Dengan demikian,
agama sesungguhnya terdapat dalam semua lapisan masyarakat serta seluruh
tingkat kebudayaan sejak awal sejarah manusia.Pada akhirnya, kenyataan ini
memberikan motivasi lahirnya aspirasi manusia untuk mempelajari lebih jauh
perihal agama, baik sebagai ajaran yang diwahyukan maupun sebagai ajaran yang
tumbuh dan berkembang dalam wujud perilaku masyarakat. Sistem keyakinan pada
diri manusia merupakan perasaan rahasia yang sangat dalam dan tidak bisa
dicampuri manusia lain. Timbulnya keyakinan dalam diri seseorang terhadap zat
yang belum bisa melihatnya, merupakan hak asasi bagi seseorang. Keyakinan atau
percaya dengan yakin dalam kehidupan beragama adalah penerimaan suatu ide
(gagasan) dengan sikap lebih mendalam serta tidakmembutuhkan formulasi
pemikiran. (Yunus dkk, 1996:54)
Ajaran yang memberi sumbangan pengetahuan tentang aturan dan
nilainilai kehidupan yang dapat dijadikan ukuran, untuk menentukan baik dan
buruk, dilarang atau dibolehkan dalam kehidupan manusia dan masyarakat sebagai
suatu sistem budaya. Agama memberikan pengawasan (kontrol) terhadap
sistem-sistem lain yang bersifat kondusif. Agama sebagai sistem budaya yang
berfungsi memberikan pengawasan (kontrolling) tidak bisa terlepas dari sistem
sosial, sistem kepribadian, dan sistem perilaku. Secara realigi umat beragama
yang taat dan patuh melaksanakan ibadah sesuai norma yang telah ditentukan,
hakekatnya terdorong secara ideal untuk berharap memperoleh nilai-nilai
spiritual seperti pahala, berkah, rahmat dan kesejahteraan serta keselamatan
hidup dunia dan akherat.Memahami agama sebagai sistem ideologi mengandung makna
bahwa harus merupakan pedoman di seluruh lapisan masyarakat baik material
maupun spiritual. Dengan demikian, jika kita memandang islam sebagai sistem
ideologi misalnya, menurut konsekuasi logis, masyarakat harus memiliki akidah
islamiyah.
Begitu juga semboyan hidupnya, paham dan pikirannya harus islami.
Demikian halnya dengan perasaan, akhlak, pendidikan, tradisi, tata susila,
Undang-Undang dan peraturan-peraturan lainnya. Seluruhnya harus islami
berdasarkan sistem ideologi islam.
(Yunus et al, 1996:54)
Agama sebagai fenomena sosial berarti mempelajari kehidupan manusia dalam
beragamaannya, oleh karena itu manusia tidak dapat lepas dari Allah karena
agama berhubungan erat dengan Allah karena agama merupakan sumber moral dan
petunjuk kebenaran.
6.
Signifikasi dan Kontribusi Pendekatan Sosilogis terhadap Studi
Islam
Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami agama dapat
difahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah
sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya
mendorong kaum agama memahami ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam
hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai
berikut:[25]
1.
Dalam Alquran
atau Hadist, proporsi terbesar kedua sember hukum Islam tersebut berkenaan
dengan urusan mua’amalah. Menurut Ayatullah Khomeini perbandingan antara ayat
ibadah dengan ayat kehidupan sosial adalah 1:100.
2.
Bahwa
ditekankannya masalah mu’amalah atau sosial dalam masalah Islam adalah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan mu’amalah
yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan.
3.
Bahwa ibadah
yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah
yang bersifat perseorangan, karena itu shalat yang dilakukan berjama’ah adalah
lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian.
4.
Dalam Islam
terdapat ketentuan bila urusan ibadah tidak dilakukan dengan sempurna, maka
kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.
Dalam Islam
terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemaysarakatan mendapat amalan
lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Berdasarkan pemahaman kelima alasan diatas, maka melalui pendekatan
sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri
diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai
ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab
yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan sebab-sebab yang
menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat dijelaskan
apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu
diturukan.[26]
7.
Penutup
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai
gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena
sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya
hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya
proses tersebut. Orang yang pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan
sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun kemudian
dilanjtkan oleh August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl
Mennheim.
2.
Pendekatan yang dilakukan dalam pendekatan
studi Islam meliputi beberapa teori, yaitu Fungsionalisme, Pertukaran,
Interaksionalisme Simbolik dan Konflik.
3.
Kaitan antara pendeatan sosiologi dengan agama
adalah : Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya
persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan
memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota
masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan
ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu
dan utuh. Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai
bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan
memaksa yang mendukung dan memperkuat dan memperkuat adat-istiadat.
Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat,
terutama yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan
erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu
sendiri.
4.
Agama sebagai
fenomena sosial berarti mempelajari kehidupan manusia dalam beragamaannya, oleh
karena itu manusia tidak dapat lepas dari Allah karena agama berhubungan erat
dengan Allah karena agama merupakan sumber moral dan petunjuk kebenaran.
5.
Pendekatan
sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri
diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai
ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab
yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan sebab-sebab yang
menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat dijelaskan
apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu
diturukan
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online)
diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014.
Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai
Kemasyarakatan, 2009, Bandung: Refika Aditama.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2012,
Jakarta: Rajawali Pers.
Al-Muqkidz :
Journal Kajian Keislaman, vol:8 no.1 (Januari-April 2020)
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi
Islam, 2003 Bandung: Remaja Rosdakarya.
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis
Naharong), Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama,
1996, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi
sebagai Cara Pandang, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori
dan Praktek,1998, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama,
(online) diakses melaluihttp://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.
[1]Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002), h.
39.
[2]Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014
[3]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 38-39.
[4]
Ibid., hal. 39.
[5]M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), hlm. 83.84
[6]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 20-21.
[7]Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.
[8]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 21-22.
[9]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 22-23.
[10]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 27.
[11]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 25
[12]Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009) , hlm. 46.
[13]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,hlm. 34.
[14]
Al-Muqkidz : Journal Kajian Keislaman, vol:8 no.1 (Januari-April 2020)
[15]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.
[16]Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.
[17]Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996) , hlm. 39-40.
[18]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 41-42.
[19]Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyaraka…, hlm, 36.
[20]Ibid., hlm, 36.
[21]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , , hlm. 185.
[22]Ibid. , hlm. 185.
[23]Ibid. , hlm. 186.
[24]Ibid. , hlm. 186.
[25]Jalaluddin Rakhmat, Islam
Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986) h. 48.
[26]Abdul Syani, Sosiologi Dan Perubahan
Masyarakat, (Lampung: Pustaka Jaya, 1995), h. 42
EmoticonEmoticon